Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menilai perlu ada penataan ulang pengelolaan koperasi di Indonesia. Hal ini karena perkembangan koperasi masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini tertuang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komite IV DPD RI di Gedung Parlemen, Rabu, 13 September 2017.

Wakil Ketua Komite IV DPD Ayi Hambali yang memimpin rapat tersebut menyampaikan, koperasi saat ini masih jauh dari  yang diharapkan. “Ketika kami reses kemarin, banyak koperasi yang  tinggal papan nama dan tidak ada kegiatannya, ada juga dilaporkan di kanwil koperasi itu tercatat tapi koperasi sudah tidak ada. Tata kelola koperasi juga masih jauh dari yang diharapkan,” katanya.

Ia menambahkan dari rapat dengan akademisi dan praktisi koperasi ini, diharapkan bisa diketahui kondisi koperasi saat ini. Narasumber yang hadir, Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi,Suroto mengatakan bahwa problem mendasar koperasi adalah Koperasi belum berkembang karena  paradigma perkoperasian yang jauh dari  pengertian koperasi yang benar, yaitu manusia ditempatkan sebagai yang utama.

Mengutip Sindinews.com (13/9/17) dikatakan, diskriminasi tehadap koperasi juga masih terjadi, regulasi kita diskriminatif, contoh uu rumah sakit yang badan hukum rs privat harus PT. “Di Washington itu poliklinik dan rumah sakit bisa berdiri dan kepimilikannya atas nama koperasi, sedangkan di Indonesia kepemilikan RS itu harus dari PT,” ujarnya.

Selain itu di Indonesia menurutnya koperasi harus dibentuk minim 20 orang padahal dari regulasinya bisa dibentuk oleh 1 orang atau lebih. Menurut Suroto, kebijakan pemerintah harus dimulai dari  proses rehabilitasi, karena 71% koperasi di Indonesia itu hanya sebatas papan nama dan sisanya masih ada yang berupa rentenir berjubah koperasi.

Efektifitas deputi pengawasan koperasi juga dinilai masih kurang, karena dalam 3 tahun belum selesai pengontrolan dan pembubaran koperasi, padahal harusnya dalam 1 tahun sudah rampung. Koperasi terang dia, harus diberikan free pajak, karena yang memberatkan itu kan dari regulasi pp 43 th 2014.

Para pengusaha besar malah dikasih tax holliday dimana investo dengan pengendapan dana 500 miliar. Sementara itu akademisi IPB, Dr. Lukman Baga mengatakan UU 17 th 2012 dibatalkan karena tidak sesuai dengan kebutuhan koperasi dan harus kembali uu no 25 th 1992 yang banyak terdapat ambiguitas. “Seharusnya digugat juga ke mahkamah konstitusi, soal beberapa pasal dari UU 25 tahun 1995, karena masih belum memenuhi kebutuhan perkopreasian Indonesia,” terang dia.

Koperasi simpan pinjam (KSP) harus dikembangkan sebagai penyelamat cashflow anggota, yang menjadi basis pembiayaan sektor ril sehingga proses perputaran lebih besar. Luqman berharap kedepan KSP bisa dikembangkan dengan bagi hasil bukan sistem bunga.

Dikesempatan yang sama akkademisi IPB Maryono, KSP ada fenomena di koperasi yang sedikit aneh, kemandirian koperasi menggunakan dana pihak ketiga untuk kegiatan simpan pinjam, “Tidak ada lagi penarikan dana dari anggota, sehingga menyebabkan koperasi tidak mandiri lagi karena menggunakan dana pihak ketiga,” jelasnya.

Anggota DPD RI Dapil Jambi Hj.Daryati menambahkan bahwa syarat menjadi anggota koperasi masih memberatkan. “Masuk koperasi mengharuskan ada simpanan wajib, nah kasihan masyarakat yang butuh dana tapi harus endapkan dana dulu, akhirnya mereka pinjam ke rentenir, mungkin ada solusi yang lebih baik khususnya buat masyarakat desa yang kurang mampu,” pungkasnya.

Sedangkan Anggota DPD RI Dapil Jawa Timur, Budiono, dirinya menyoroti dana desa yang melimpah di desa tapi tidak bisa digunakan oleh koperasi. “Posisi dana desa dengan peraturan yang  ada harus  bentuk bumdes yang harus PT, sehingga koperasi tidak bisa masuk. Dana yang relatif banyak di desa, itu tidak bisa dikelola koperasi, harus ada skema yang bisa digunakan,” tegasnya. (Yan)