Jumlah koperasi yang banyak ternyata tidak menunjukkan kualitas dari koperasi. Maka tepat dilakukan rasionalisasi koperasi dan salah satunya melalui pembubaran, khususnya koperasi papan nama dan rentenir yang berbaju koperasi.

Pembubaran koperasi oleh pemerintah untuk menjaga citra koperasi ini penting. Aturan tersebut sudah diatur dalam UU No 25/1992 dan PP dan Permen sehingga dalam pelaksanaanya tak perlu ragu.

Tak dipungkiri Indonesia merupakan pemilik koperasi terbanyak di dunia, yakni berjumlah 212.334 unit pada 2014. Namun kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto ( PDB) hanya 1,7 persen. Terlebih saat ini Kementerian Koperasi dan UKM ( Kemenkop dan UKM) telah melakukan rasionalisasi dan pembubaran koperasi-koperasi papan nama ini. Tetapi upaya tersebut diakui salah satu pengamat perkoperasian masih sangat lamban.

Dari 2014 -2018 baru dibubarkan sekitar 62 ribu koperasi. Padahal potensi yang masih papan nama itu masih sekitar 80 ribu lagi.  Belum lagi rentenir yang berbaju koperasi. “Harusnya pembubaran koperasi ini dilakukan dalam kebijakan short term, jangka pendek setahun saja. Sebab nama koperasi selama ini sudah begitu rusak oleh koperasi papan nama dan rentenir berbaju koperasi ini,” ujar Suroto, Pemerhati Perkoperasian.

Kata dia kenapa kebijakan pembubaran koperasi ini dianggap penting dikerjakan dengan sangat cepat? Tujuannya adalah untuk “shock therapy” agar masyarakat luas tahu, selama ini cara berkoperasi kita itu salah. Mendirikan koperasi hanya untuk mengejar bantuan dan juga insentif dari pihak luar.  “Mental mencari bantuan ini sudah secara akut dan merusak mental masyarakat yang mengindikasikan hancurnya kemandirian koperasi sebagai pilar utama berkembangnya koperasi yang baik.

Salah satu penyebabnya karena terlalu lama upaya untuk pembubaran koperasi, bahkan sudah munculkan lagi ide-ide untuk mengembalikan bantuan-bantuan sosial ke koperasi yang sudah dihilangkan dalam Permendagri No. 13 Tahun 2018 tentang Bantuan Sosial dan Hibah.

Akibat kondisi tersebut koperasi kita tidak lekas berkembang dengan baik. Motivasi masyarakat mendirikan koperasi semata hanya kejar insentif dari luar, baik berupa bantuan atau program bukan rasionalitas bisnis. “Motivasi pendirian koperasi kita kebanyakan palsu. Ini menyebabkan kegagalan dini dari koperasi, atau istilahnya menyebabkan koperasi layu sebelum berkembang,” ujarnya lagi.

Masih diuraikan Suroto, masih banyak dilakukan hal lain yang menyebabkan koperasi sulit berkembang. Termasuk pada aspek regulasi tentang ekonomi dan kemasyarakatan kita yang diskriminatif terhadap koperasi.

Hasilnya kata dia koperasi kita jadi kerdil dan keluar dari lintas bisnis modern. Koperasi kita sudah sejak dulu dihambat di tingkat regulasi agar hanya jadi urusan bisnis kecil-kecilan.