Koperasi seyogyanya menjadi backbone (tulang punggung) dari  pengusaha mikro (micro entterprise) yang jumlahnya mencapai puluhan juta pengusaha. Pasalnya UMKM khususnya usaha mikro, merupakan pengusaha yang sangat rentan karena pembinaannya dilakukan secara individual.

Demikian hasil jualannya kadang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari sehingga modalnya habis. Sehingga yang terjadi buka tutup toko, semisal sekarang buka besoknya tutup. Hal seperti inilah yang harus diayomi dan diwadahi dalam bentuk koperasi dengan begitu pembinaannya bisa dilakukan secara kelembagaan.

Demikian disampaikan Pengamat Perkoperasian Suroto, saat menjadi narasumber dalam penyusunan bahan Renstra Kementerian Koperasi dan UKM 2020-2024, di Jakarta Selasa (12/2).

Suroto yang adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio ekonomi Strategis (Akses) menamahkan, dari sisi regulasi, juga harus ada kebijakan yang mendorong perkembangan koperasi sebagai salah satu pelaku perekonomian Indonesia. “Kuncinya adalah keberpihakan, bagaimana mendorong regulasi yang sektoral supaya tidak mengunci perkembangan koperasi di tanah air, misalnya insentif fiskal,” ujarnya.

Ia mencontohkan bagaimana mengguritanya bisnis NTUC di Singapura yang  kini menguasai 73% pasar ritel di Negeri Singa itu, yang membuat raksasa ritel seperti Carrefour dan Gelael protes. Meski demikian menurutnya, jawaban pemerintah Singapura enteng saja, asal dua perusahaan itu mau seperti NTUC, yakni mau badan hukumnya berubah menjadi koperasi dipersilahkan.

Terkait NTUC di Singapura mendapatkan insentif fiskal yang membuatnya cepat berkembang, kata Suroto karena NTUC sudah melaksanakan keadilan dengan melakukan redistribusi sehingga mendpaat insenti fiskal sebagai hak moralnya. Masi kata dia, faktor ketiga yang harus menjadi perhatian adalah,  di era revolusi induri 4.0 saat ini, koperasi mau tak mau harus mengakselerasi diri mengikuti perkembangan dan kebutuhan di era digital. “Kenapa koperasi sekarang terkesan tidak updatable, hal itu antara lain karena habitat dan ekosistemnya tidak mendukung kesana,” ujarnya yang juga seagai Ketua Umum Kosakti ini.

Ekosistem Bisnis

Adapun Rendy Saputra CEO Keke Busana berpendapat, bahwa arah kebijakan koperasi ke depan sebenarnya sederhana saja, yaitu mendorong koperasi berbasis sektor riil untuk bisa membangun ekosistem bisnis yang dimiliki bersama.

Misalnya petani yang banyak mengalami kesulitan dalam menjual padi, kalaupun laku seringkali di tempat penggilingan padi harganya jatuh. Nah misalkan ada 100 petani mau bersama -sama membangun rice milling, selanjutnya dengan produksi yang lebih besar, maka akan lebih mudah memasarkannya, baik keluar maupun untuk kebutuhan anggotanya sendiri.

“Petani kan banyak yang belum sampai ke tahap sana, disini perlu adanya edukasi bagaimana mengubah pola pikir petani agar bisa menciptakan sendiri ekosistem bisnisnya dengan cara melakukan industrialisasi yang dilakukan secara bersama-sama,” katanya.

Dimata Rendy, koperasi saat ini ibarat sebuah puzzle yang hilang. Karena trend sekarang adalah banyak orang berkelompok misalkan 50 atau 100 orang melakukan bisnis bersama. “Nah mereka bingung wadahnya itu apa, karena kalau secara sembunyi-sembunyi, mereka bisa di katakan bisnis gelap, disinilah kebutuhan akan koperasi itu muncul. Kita perlu melakukan banyak edukasi kepada mereka maupun yang saya bilang tadi ke petani produsen bahwa koperasi adalah wadah usaha yang tepat untuk trend bisnis saat ini,” pungkasnya