Saat ini masih terjadi ketimpangan ekonomi yang luar biasa di Jawa Barat bagian selatan. Kondisi tersebut, dinilai cukup memprihatinkan bila dibandingkan dengan kondisi di Jawa Barat bagian utara. Imbasnya angka kemiskinan pun terbilang cukup tinggi. Tidak heran bila Jawa Barat selatan itu menjadi fokus utama Pemerintah Daerah Jawa Barat untuk mengentaskan persoalan tersebut.

Untuk mengetahui kondisi yang ada, bisa melihat dari peta statistik. Dimana angka kemiskinan yang terjadi di Jabar selatan faktanya cukup tinggi dibandingkan dengan Jabar utara. Karenanya, persoalan yang terjadi di Jabar selatan ini, pantas menjadi fokus utama bagi pemerintah daerah Jawa Barat.

Demikian diungkapkan Sekretaris Kementerakan Koperasi dan UKM, Prof Rully Indrawan, saat menjadi pembicara pada Seminar nasional implementasi Perda No. 28/2010 tentang Pembangunan Wilayah Jabar Selatan Tahun 2020-2029‘ dengan tema “Pengembangan Ekonomi Masyarakat Jabar Selatan” bertempat di Grand Inna Beach Samudera Hotel, Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (30/11).

Rully menambahkan dalam acara yang digelar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan dihadiri Ketua Umum ICMI Prof Jimly Asshiddiqie, dan Ketua ICMI Orwil Jabar Prof M Najib, mengatakan bahwa, persoalan itu sesungguhnya memang bisa diatasi melalui kebijakan. Sayangnya, kata dia, hingga saat ini kebijakan tersebut dinilai masih belum berpihak kepada sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

“Makanya kemarin Pak Jokowi agak nyemprot kepada bank nasional kita. Padahal, sektor UMKM berkontribusi besar kepada perekonomian secara nasional. Makanya ada anekdot bahwa UMKM itu disebut ‘usaha maneh kumaha maneh’. Yang artinya usaha kamu bagaimana kamu,” ujarnya.

Masih menurut dia, bila dibandingkan dengan negara lain, seperti di Jepang, Singapura, atau di Korea, besarnya kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan perekonomian negaranya, didukung oleh kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada UMKM. “Kalau mau jujur, masalah yang sangat serius dalam urusan keberpihakan menyangkut nasib UMKM. Mereka yang menikmati dana perbankan dengan kebijakannya ini, baru sekitar 12 persen saja dari jumlah UMKM yang ada di Indonesia. Selebihnya pembiayaan UMKM kita berasal dari rentenir,” tandasnya lagi.

Karena itu imbuh Rully, persoalan UMKM yang dihadapi saat ini, juga tidak hanya terjadi di Jawa Barat, tapi hampir sama yang dihadapi di seluruh Indonesia. Terutama menyangkut birokrasi, bukan infrastruktur, khususnya terkait masalah perijinan. Ia menambahkan, persoalan UMKM nasional, ternyata bukan pada modal atau pembiayaan, bukan pula persoalan infrastruktur, tetapi menyangkut persoalan birokrasi. “Pak Jokowi, dalam berbagai kesempatan sering menyinggung soal lamanya pengurusan perijinan. Di luar negeri, pengurusan perijinan cukup membutuhkan hitungan hari, bahkan cukup dengan hitungan jam, tapi di Indonesia memakan waktu berminggu-minggu, lama dan ‘mahal’,” ujarnya lagi.

Untuk itu ke depan kata dia, diharapkan pengurusan perijinan tidak perlu memakan waktu lama, dan yang terpenting tidak dipungut biaya alias gratis. Sebab, kata Rully, bila ingin menunjukkan mengembangkan UMKM di Indonesia, perlu difasilitasi seperti itu.

Pada kesempatan tersebut, Rully juga menjawab sejumlah pertanyaan dari peserta seminar terkait upaya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM dalam pengambangan koperasi dan UMKM, khususnya di Jawa Barat.

Menurut Rully, seiring dengan era revolusi industri 4.0 saat ini, muncul tren ekonomi kolaborasi atau ekonomi berbagi, dimana melibatkan banyak pihak yang mendapatkan manfaat dari suatu kegiatan ekonomi. Jadi, berdirinya koperasi, saat ini tak lagi top down seperti zaman dulu, namun lebih karena adanya kebutuhan untuk bekerjasama membantu dirinya melalui suatu kelompok. “Terhadap kelompok masyarakat atau pekerja yang belum tergerak mendirikan koperasi, yang bisa kita lakukan adalah memberikan sosialisasi dan pendidikan apa itu koperasi dan bagaimana bisa mendapatkan manfaat dari sebuah koperasi,” tandas Rully.

Dia mengatakan, dunia yang berubah dan penuh dengan disrupsi ini, harus direspon dengan berbeda. Sepuluh tahun lalu, katanya, tak pernah terbayang profesi tukang ojek semenarik hari ini. Juga tak pernah terbayang bila istilah driver memiliki konotasi yang positif daripada sopir zaman dulu. “Aplikasi sharing economy telah merubahnya. GoJek, Grab, Uber lahir dan hal-hal yang tak terbayangkan itu menjadi nyata di depan mata. Dulu mencari informasi hotel yang sesuai dengan budget harus kita lakukan dengan telpon sana sini. Dunia berubah dan menawarkan website untuk setiap hotel,” katanya.

Rully menambahkan, bahwa di Bali sudah ada koperasi yang mulai menjajaki sistem itu. Yakni KSP TEB Artha Mulia yang berdiri pada 2014, telah terhubung (interconnected) dengan sebelas koperasi lain di sana. “Hasilnya sangat menggembirakan. Statistik anggota dan asetnya meningkat tajam. Dengan aplikasi berbasis Android anggota dilayani,” ungkapnya.

Rully juga menyinggung soal anggapan masyarakat terkait keberadaan koperasi. Bahwa selama ini, kata dia, masyarakat selalu menganggap koperasi merupakan usaha yang gurem, lemah dan terbelakang. “Kita harus bergegas untuk mengubah pola pikir klasik dan klise, yang memandang koperasi sebagai bangun usaha yang kumel, gurem, lemah, dan terbelakang, sehingga koperasi pantas menjadi objek belas kasihan,” pungkasnya